Malang-Setelah berhasil laksanakan Webinar Seri 1, Lembaga Kebudayaan UMM bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia UMM dan Hiski (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) Komisariat Malang juga sukses menggelar Webinar Seri 2 yang bertema Sastra dalam Merefleksikan Kehidupan di Masa Pandemi pada Kamis (25/06/2020). Terbukti dengan antusiasme para peserta hingga mencapai 671 orang dari berbagai daerah di Indonesia dan telah ditonton lebih dari 1700 tayangan di youtube. Beragam pertanyaan pun diajukan para peserta selama webinar berlangsung.
Acara yang berlangsung mulai pukul 13.30-15.30 WIB ini dibuka oleh ketua pelaksana kegiatan, Dr. Daroe Iswatiningsih, M.Si., dan dilanjutkan dengan sambutan Ketua Hiski Komisariat Malang, Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd. Webinar pun menghadirkan pemateri-pemateri secara virtual dari lima perguruan tinggi, yaitu Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Islam Malang (Unisma), Universitas Brawijaya (UB), dan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang serta moderator dari Universitas Ma Chung.
Sebagaimana yang disampaikan keynote speaker, Dr. Sugiarti, M.Si., pandemi menggiring eksistensi sastra cyber di tengah perkembangan pesat teknologi saat ini. “Saat inilah demokrasi bersastra bagi siapapun untuk berkarya, apalagi didukung dengan perkembangan teknologi yang mutakhir. Tidak perlu ada kecemasan dan ketakutan untuk berkarya. Meski penilaian sastra itu sendiri nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai kritikus dan kurasi” demikian penegasan dari Dr. Lilik Wahyuni, M.Pd.
Keterhubungan antara sastra dan pandemi tidak bermula pada pandemi covid-19 ini, tetapi sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Hal itu tercermin dari karya sastra yang merefleksikan kehidupan masyarakat, misalnya Geovanni Boccacio (1348) yang menggambarkan bagaimana wabah telah menelan korban 60% warga Italia.
Seperti dalam paparan pemateri Dr. Ari Ambarwati, M.Pd., sastra mampu berperan sebagai imun dalam menjalani kondisi pandemi saat ini. Untuk itu, tawaran terbaik sastra dalam situasi pandemi adalah masyarakat mampu mengontrol ketakutan dan kecemasan akibat pandemi
covid-19 untuk senantiasa bersikap rasional. Artinya, keinginan untuk tetap sehat dan terhindar dari pandemi harus tetap terjaga. Selain itu, senantiasa mematuhi protokol kesehatan dalam beraktivitas sehari-hari.
Tak kalah menarik, Dr. Taufik Dermawan, M.Hum. memaparkan materi berjudul Sastra dan Persaksian. Sastra menggambarkan pandemi sebagai suatu fenomena yang terjadi dalam kehidupan. Tentu hal ini tidak dapat disangkal karena banyak karya sastra yang bertolak dari penggambaran peristiwa yang terjadi di masyarakat, misalnya Albert Camus dengan la Peste, Die Pest, Lock Down oleh Peter May.
Menanggapi pertanyaan mengenai respons sastra yang terjadi saat ini, pandangan mengenai input sastra di masa sebelum dan saat pandemi covid-19 tentu berbeda. Keproduktifan masyarakat dalam memaknai sastra semakin terlihat dan berkembang sangat signifikan saat pandemi
covid-19 ini, yakni melalui IT yang jangkauan perkembangannya sangat luas. “Kita tidak boleh takut dengan teknologi, karena ini sebuah keniscayaan” tegas Dr. Lilik Wahyuni, M.Pd.
Pada masa pandemi covid-19, metafora kontak berubah menjadi realita. Film-film seperti Wolfgang Petersen Outbreak (1995) dan Steven Soderbergh’s Contagion (2011) kini menjadi pikiran atau ramalan jika bukan apokaliptik. Menarik sekali paparan dari hasil kajian para pemateri dalam melihat sastra sebagai gambaran kehidupan sekaligus sebagai sebuah refleksi dalam menemukan nilai-nilai terbaik yang dapat diambil. Tentu akan lebih lengkap lagi informasi yang kita dapat apabila langsung menyimak Webinar yang terangkum dalam YouTube Webinar Sastra dan Pandemi seri 2 pada channel youtube umm1964.